Selamat Datang Di Blog Pimpinan Cabang Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama-Ikatan Pelajar Putri Nahdlatu Ulama Kabupaten Sumenep

Jumat, 25 Februari 2011

Ketika IPNU Kehilangan Induk

Oleh : M. Kamil Akhyari

Tanggal 24 Februari 2011, usia Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) genap 57 tahun. Pada tahun 1954 IPNU lahir sebagai wadah pelajar dan kader NU untuk membentuk insan yang berakhlak mulia (takwa), dan berwawasan kebangsaan serta bertanggung jawab atas tegaknya syariat Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
IPNU adalah anak NU, dan secara struktural adalah badan otonom NU. Artinya, IPNU berhak mengatur rumah tangga sendiri, dan punya anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) yang berbeda dengan NU. Sebagai anak, aturan rumah tangga IPNU tidak boleh bertentangan dengan aturan rumah tangga induk yang menaungnya.
NU telah mendeklarasikan diri sebagai ormas yang moderat, artinya tidak terlalu maju (liberal) dan tidak terlalu jumud (fundamintal) dalam berfikir. Muktamar 1984 di Situbondo menghasilkan keputusan, Pancasila sebagai asas organisasi NU. Mulai saat itu dipundak NU ada dua sayap yang harus sama-sama dikibarkan; keislaman dan kepancasilaan.
Sayap kanan NU adalah keislaman, setiap detak jantung dan jengkal langkah yang dijalankan tidak boleh lepas dari riil islam itu sendiri yaitu Al Qur'an dah Hadits yang diemplimentasikan dalam sikap ta'adul (keadilan), tawasut (moderat), tasamuh (toleransi) dan tawazun (keseimbangan). Sementara sayap kiri NU adalah Pancasila dan UUD 1945.

Tren Pemikiran Pelajar NU
Masih terngiang dengan jelas pidato sambutan Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi pada Pelantikan Pimpinan Pusat IPNU di Gedung Smesco, Jakarta beberapah tahun lalu. Beliau mengatakan, saat ini muncul kecenderungan maraknya fundamentalisasi dan liberalisasi agama. Pelajar yang sekolah/kuliah di kampus umum lebih menyukai pemikiran islam yang keras, radikal dan ekstrim. Sementara santri yang belajar di pesantren cenderung kepada wacana islam liberal.
Pengasuh Pesantren Al Hikam, Depok, Jawa Barat, itu mencoba menjawab. Maraknya dua kutub pemikiran tersebut disinyalir karena mereka yang kuliah di kampus umum sangat minim dengan pengetahuan agama. Dan mereka yang belajar di pesantren bosan dengan pemikiran kaum pesantren dan dianggap tidak relevan dengan perkembangan zaman, sehingga mencari pemikiran lain yang baru.
Dua wacana pemikiran tersebut mulai menjadi tren pelajar NU. Liberalisme agama yang sangat jelas bertentangan dengan asas organisasi NU makin marak dikalangan anak muda NU. Jika kader NU saat ini tak lagi berpedoman dengan asas NU, bagaimana nasib NU sepuluh tahun yang akan datang saat mereka mengganti pengurus-pengurus NU saat ini.
IPNU yang diberi amanah untuk mengurusi anak muda dan pelajar NU harus bertanggung jawab terhadap tren pemikiran yang terjadi pada pelajar NU. IPNU sebagai wadah kaderisasi anak NU berkewajiban untuk menggiring, menuntun, dan membimbingnya ke jalan yang ditempuh NU.

Perselingkuhan Punggawa NU
Maraknya fundamintasme dan liberalisme agama yang terjadi pada anak muda NU tidak bisa sepenuhnya dipasrahkan kepada IPNU. Semakin menipisnya pelajar di jalur NU bukan hanya IPNU yang harus bertanggung jawab. Semua lembaga dan badan otonom dibawah naungan Nahdlatul Ulama harus bertanggung jawab terhadap hal tersebut.
Roda organisasi IPNU dijalankan anak muda. Sebagai insan yang senantiasa membutuhkan arahan dan bimbingan tentu setiap langkahnya tidak selalu dijalur yang lurus. Tegur sapa induk IPNU sangat urgen untuk keselamat anak-anaknya. Budaya tegur sapa inilah yang masih belum biasa dan perlu dibudayakan diantara lembaga-lembaga NU. Sampai saat ini IPNU seperti anak ayam yang kehilangan induknya dan berjalan sendiri-sendiri.
Minimnya tegur sapa ini (untuk tidak mengatakan tidak ada) setidaknya karena disebabkan dua hal. Pertama, punggawa-punggawa NU juga tidak dijalur NU. Sekalipun muktamar NU telah menghasilkan kesepakatan untuk kembali ke khitah sebagai organisasi sosial keagamaan, tapi tampaknya sampai saat ini elite-elitenya masih tetap saja menjadikan NU sebagai kendaraan menuju parlemen, senayan dan istana negara. Ketika punggawa-punggawanya juga tidak dijalur NU, bagaimana ia bisa menasehati anak-anaknya.
Kedua, sebagai dampak dari yang pertama, punggawa NU laksana kacang lupa sama kulitnya. Setelah mencapai puncak karir yang diincar, mereka tidak lagi peduli dengan nasib NU dan tidak mau tahu dengan keberadaan kader NU. Tidaknya adanya saling tegur sapa dan kepedulian punggawa NU terhadap anak muda NU, disinilah titik rawan anak NU diadopsi kelompok lain dan dicekoki ideologinya.
Selamat Belajar, Berjuang dan Bertakwa!

Duta Masyarakat, 24 Februari 2011