Selamat Datang Di Blog Pimpinan Cabang Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama-Ikatan Pelajar Putri Nahdlatu Ulama Kabupaten Sumenep

Selasa, 06 April 2010

NU Berpolitik? Why Not!


Kado Untuk Prof. KH. Said Aqil Siradj
Oleh : M. Kamil Akhyari


Sebelum Muktamar ke-32 berlangsung di Makasar pada tanggal 22-27 Maret 2010, sejuta kritik dan saran deras turun dari kalangan nahdliyin mengguyur Pengurus PBNU, dari sekian kritik dan saran yang dialamatkan untuk Kepengurusan PBNU pereode 2005-2010, mereka berharap masa yang akan datang NU tidak meneruskan pemerintahan PBNU sebelumnya yang terkesan hanya dijadikan kendaraan berpolitik untuk mendapatkan simpati dan dukungan dari warga nahdliyin.

Entah memang seperti itu yang namanya politik, pinjam istilah Iwan Fals, penuh dengan intrik atau tidak, tapi yang jelas dengan terjunnya sederetan “punggawa” NU ke panggung politik, NU yang senantiasa duduk bersama dengan masyarakat akar rumput mulai jarang terlihat, mereka lebih sering duduk dan berdiskusi dengan orang yang gagah dengan memakai jas, dasi dan sepatu ketimbang duduk dan bercanda gurau dengan masyarakat bawah sambil mendengarkan keluhannya.

Bermula dari “punggawa” NU yang mulai berterbangan terjun ke pentas politik dan tidak memihak pada rakyat, warga nahdliyin mulai khawatir kepada “punggawa” NU yang akan menggantikan mereka duduk di senayan, terbukti dengan perolehan warga nadliyin seperti Partai Kebangkitan Bangsa pada pemilu 2009 turun drastis ketimbang pemilu 2004, dan calon presiden 2009-2014 yang direkomendasikan NU tidak lulus menuju orang nomor satu diindonesia.

Untuk menghentikan derasnya kritik dan saran warga nadliyin, Prof. KH. Said Aqil Siradj setelah berhasil mengantongi 294 suara, mengalahkan Slamet Efendi Yusuf dengan suara 201pada pemilihan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU, dalam sambutannya di hadapan muktamirin beliau memaparkan akan menarik NU dari kancah politik praktis.

***

Menurut pribadi penulis sebagai kader muda NU, NU tidak perlu untuk mengatakan tolaq dan menarik diri dari politik praktis sekalipun warga nahdliyin mulai tidak percaya dengan partainya warga nahdliyin, karena peranan NU di senanyan sangat di butuhkan jika benar-benar menjaga amanah yang dilimpahkan warga nadliyin. Yang lebih pas menurut penulis bukan menarik NU dari politik, tapi memperbaiki perpolitikan NU. Jika lumbung perpolitikan NU di makan “rayap”, bukan lantas NU menarik diri dan menjauh dari lumbung tersebut, tapi bagaimana NU bisa memperbaiki dan merovasi lumbung tersebut sehingga menjadi politik keumatan. Semisal dengan setiap kader NU yang hendak terjun ke kancah politi praktis, mereka dengan NU membuat kesepakatan untuk berpoliti ala Nahdlatul Ulama, sehingga ketika mereka melenceng dari politik keumatan, pengurus NU yang bertanda tangan bisa langsung mendelete mereka dari senayan.

Organisasi sosial keagamaan terbesar di indonesia ini yang mempunyai jamaah 60 juta orang, disetiap sektor harus ada yang menduduki, bukan hanya fokus pada perbaikan sosial, ekonomi, budaya dan pendidkan, dibidang politikpun juga harus ada yang menempati. Jika NU hanya fokus pada pengayoman masyarakat akar rumput dan mengabaikan pemerintahan yang sarat dengan pengambil kebijakan, dan hanya fokus pada perbaikan pondasi tanpa menoleh kepada atap, gedung DPR akan lebih mudah di kuasai oleh orang yang bertolak belakang dengan ideologi NU yang menerima Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila sebagai landasan negara sebagaimana keputusan Muktamar NU ke-27 di Situbondo.

Coba kita lihat perolehan suara pada pemilu 2004, partai yang ingin merombak NKRI dan Pancasila sebagai landasan negara dan partai-partai yang bernuansa wahabi yang akan mendirikan Daulah islamiyah (negara islam) menduduki lima sampai sepuluh besar pada pemilu 2009, dan pemerintahan saat ini mulai dihiasi orang yang pro dengan pendirian Daulah Islamiyah di Indonesia. Jika ini terus berlanjut, hasil Muktamar ke-27 di Situbondo tidak akan pernah terwujud, dan perjuangan KH. Hasyim Asy'ari melalui organisasi Nahdlatul Ulama yang merebut indonesia dari faham wahabi yang dihembuskan Abdullah bin Saud di Arab Saudi akan terulang kembali.

Di bawah kepemimpinan Prof. KH. Said Aqil Siradj sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PBNU dan KH. Sahal Mahfudz sebagai pemegang “palu” NU masa 2010-2015, NU tidak perlu untuk menarik dari politik praktis, tapi bagaimana “pembesar” NU yang ada di senayan bisa saling bantu dan kerjasama untuk membantu warga nahdliyin, bukan saling senggol dan mempertajam perbedaan. Sehingga selain indonesia tetap kokh dengan bingkai NKRI berpijak pada Pancasila, warga negara indonesia pada umumnya dan warga nahdliyin pada khususnya bisa menghirup udara segar dari kedhaliman pemerintah di bawah setir pembesar NU di senayan. Amien...